Bos Hotel Ungkap Efek Seram Pajak Hiburan Sampai 75%

Jakarta, CNBC Indonesia – Tarif pajak hiburan yang menjadi ketentuan khusus sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) mendapat protes dari pelaku industri hingga influencer di media sosial hingga pebisnis hotel. Bahkan, kenaikan pajak hiburan 40%-75% dinilai dapat memberikan efek domino terhadap perekonomian masyarakat.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni tanggal 5 Januari 2022.

Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tarif pajak hiburan khusus untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan hanya dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%, tanpa menyebutkan batas minimum 40% seperti di UU HKPD.


Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut sektor hiburan justru merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Menurutnya, dengan adanya kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan itu akan memberikan efek domino yang berbanding terbalik dengan target pemerintah, yakni membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.


“Di sektor hiburan ini kan juga sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Sehingga akan banyak juga menghilangkan lapangan kerja nantinya. Di mana pemerintah sendiri selalu menggaungkan pariwisata dan ekonomi kreatif itu didorong untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya,” kata Maulana kepada CNBC Indonesia, Selasa (16/1/2024).


“Namun dengan adanya peningkatan pajak ini justru malah sebaliknya. Malah yang terjadi banyaknya lapangan kerja yang seharusnya menyerap tenaga kerja yang cukup besar itu malah hilang. Karena konsumennya sendiri juga hilang,” lanjutnya.


Padahal, kata dia, situasi perekonomian Indonesia, utamanya masyarakat itu sendiri juga masih belum pulih pasca pandemi Covid-19. Yang mana, masalah penyerapan tenaga kerja belum maksimal atau masih belum terserap sepenuhnya.


“Pasca pandemi Covid-19 itu ekonomi belum pulih, penyerapan tenaga kerja itu masih belum maksimal. Jadi masih banyak yang belum terserap kembali,” ucapnya.


Kemudian, dari sisi lapangan pekerjaan juga masih belum kembali. “Kan pada saat waktu Covid itu banyak (perusahaan) yang tutup, nah pembukaan lapangan kerjanya itu belum kembali,” ujarnya.


Selanjutnya, kata dia, dari sisi ekonomi global yang menekan semua harga, sehingga terjadinya inflasi peningkatan harga, dan tantangannya terhadap daya beli masyarakat.


“Hal itu sudah pasti. Dari daya beli masyarakat sendiri belum pulih, sebagai dampak dari Covid itu. Kemudian dengan adanya peningkatan pajak hiburan ini tentu daya beli mereka untuk di sektor hiburan jadi makin nggak ada. Tentu akan terjadi kehilangan konsumen,” pungkas Maulana. https://juswortele.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*